Minggu, 20 Januari 2008

Kajian Agama atau Religi

Istilah agama dan religi sampai saat ini masih hangat diperdebatkan. Setelah kemunculan teori-teori yang dikenal sebagai postmodernisme atau postpositivist atau poststrukturalist, polemik agama dan religi menjadi penting. Konsep agama dan religi sangat berbau konsep positivist, lihat saja konsep Durkheim ataupun konsep Levi Strauss, yang memandang agama berasal dari interaksi masyarakat, ia berada dan diciptakan dari interaksi itu. Mengapa manusia menampilkan suatu tindakan tertentu, disebabkan dalam backmind seseorang telah memiliki banyak kategori-kategori tertentu sebagai acuan bertindak. Lalu di mana letak "wahyu", yang dalam agama skriptural-impersonal (meminjam istilah Ernest Gellner, antropolog Inggris) berada di luar konsep-konsep tadi, konsep yang bertahan selama beberapa dekade. Durkheim benar dalam membuktikan adanya sacred dan profan dalam kehidupan manusia dan Levi juga benar ketika mengatakan dalam backmind manusia senantiasa ada binnary oppostion, baik-buruk, benar-salah, mentah-matang dst. Tetapi mereka tidak dapat menjelaskan dengan baik masalah "iman" yang dalam agama wahyu, contohlah Islam, menjadi satu landasan beragama. "Bila ingin dikatakan beragama Islam ya ada landasan iman" itulah kata para pakar Islam.
Jadi bagaimana bila kajian agama wahyu, dalam hal ini terutama Islam mulai menggunakan cara bagaimana para ulama mengajarkan makna Islam kepada santrinya, sehingga didapatkan suatu kajian agama masyarakat yang valid dan sahih, konsep beragama dari masyarakat itu sendiri, dan bukan dari "kekuasaan" peneliti. 20 Jan 2008

Islam dan konsep-konsep Ilmu sosial

Islam dan konsep-konsep Ilmu sosial Mencermati perkembangan tren transformasi sosial di era globalisasi dan perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humanities issues, telah terjadi gerakan kesadaran untuk meletakkan dialog keilmuan Barat dan Timur pada posisi yang sebenarnya. Perkembangan tren diawali oleh era postpositivis, akan mempertanyakan dan mengevaluasi kembali persoalan mendasar seperti maslah-masalah pergeseran konsep dan cara pandang serta metodologi. Selama ini Islam selalu dikategorikan sebagai Timur, sehingga pengamat Islam disebut sebagai para orientalis (orient-tempat matahari terbit). Sejak lama perkembangan keilmuan didominasi oleh cara pandang Barat, seperti paradigma kuantitatif yang memunculkan hypothetico-deductive melalui cara pandang Newtonian ataupun sebutan negara-negara terbelakang bagi negara yang tidak menjalankan sistem ekonomi kapitalis. "Kekuasaan" cara pandang Barat membawa akibat buruk bagi perkembangan kajian-kajian agama Islam dan kajian-kajian masyarakat dan kebudayaan Islam. Masyarakat Islam 7 abad yang lalu, yang telah membangun peradaban Islam dan membawa pencerahan di benua Eropa dan sekitarnya menjadi hanya catatan dongeng-dongeng dan kisah masa lalu. Ironisnya Dunia Timur (dan juga Islam) senantiasa dihubungkan dengan dunia magis, perdukunan dan dunia yang penuh dengan kekuatan mistik dan sihir. Dunia Islam tidak pernah dilihat sebagai dunia yang penuh dengan perkembangan teknologi dan keilmuan sehingga melahirkan kemegahan Abasiyah dan Umayah selama berabad-abad (Foucalt menolak menafikan sejarah dari konsep keilmuan). Konsep-konsep ilmuwan Muslim yang sampai saat inipun masih relevan untuk diperbincangkan, seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd atau Ibnu Taimiyyah seolah-olah tertutup dengan penemuan dan perkembangan ilmu-ilmu sesudahnya beberapa abad kemudian, yang tentu saja berasal dari Barat. Untunglah perkembangan Ekonomi syari'ah mendorong, dunia ilmu pengetahuan untuk menggali kembali konsep-konsep lama yang telah terkubur oleh humanities issues yang lebih mengedepankan dunia yang berpusat pada manusia dan bukan pada Allah. Tentu saja ide ini jauh dari pembahasan ilmuwan-ilmuwan Muslim tadi. Perkembangan ekonomi syariah diikuti dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial yang memungkinkan kita menghidupkan kembali konsep-konsep sosiologi Ibnu Khaldun yang diakui sebagai konsep ilmu sosial dunia. Penjungkir-balikan filsafat oleh Heidegger, Foucalt dan Derida, suatu bukti bahwa ilmu-filsafat selama ini tidak memiliki relevansi dengan kehidupan manusia seutuhnya. Mnuais yang tidak hanya mampu berfikir dan bertindak, tetapi juga manusia yang memiliki "iman", bahwa kehadirannya di bumi ini disebabkan oleh sang Pencipta yang memiliki kekuatan sangat besar dan mampu menguasai kehidupan manusia. Heidegger menyebutnya sang Ada yang bisa didengar manusia sebagai hamba dari sang Ada. 20 Jan 2008
Diposting oleh endang.rudiatin di 22:13 0 komentar