Istilah agama dan religi sampai saat ini masih hangat diperdebatkan. Setelah kemunculan teori-teori yang dikenal sebagai postmodernisme atau postpositivist atau poststrukturalist, polemik agama dan religi menjadi penting. Konsep agama dan religi sangat berbau konsep positivist, lihat saja konsep Durkheim ataupun konsep Levi Strauss, yang memandang agama berasal dari interaksi masyarakat, ia berada dan diciptakan dari interaksi itu. Mengapa manusia menampilkan suatu tindakan tertentu, disebabkan dalam backmind seseorang telah memiliki banyak kategori-kategori tertentu sebagai acuan bertindak. Lalu di mana letak "wahyu", yang dalam agama skriptural-impersonal (meminjam istilah Ernest Gellner, antropolog Inggris) berada di luar konsep-konsep tadi, konsep yang bertahan selama beberapa dekade. Durkheim benar dalam membuktikan adanya sacred dan profan dalam kehidupan manusia dan Levi juga benar ketika mengatakan dalam backmind manusia senantiasa ada binnary oppostion, baik-buruk, benar-salah, mentah-matang dst. Tetapi mereka tidak dapat menjelaskan dengan baik masalah "iman" yang dalam agama wahyu, contohlah Islam, menjadi satu landasan beragama. "Bila ingin dikatakan beragama Islam ya ada landasan iman" itulah kata para pakar Islam.
Jadi bagaimana bila kajian agama wahyu, dalam hal ini terutama Islam mulai menggunakan cara bagaimana para ulama mengajarkan makna Islam kepada santrinya, sehingga didapatkan suatu kajian agama masyarakat yang valid dan sahih, konsep beragama dari masyarakat itu sendiri, dan bukan dari "kekuasaan" peneliti. 20 Jan 2008
Minggu, 20 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar